Lilin yang Berubah Rupa

Hembusan angin menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka. Tirai yang menari, malam terlalu beku kala itu. Gulita menguasai sepenjurus ruangan, menyisakan bayang-bayang yang terbentuk dari sorot lampu kendaraan. Pekat, di dalam maupun luar.

Ia perlahan membuka pintu, lalu menguncinya. Sekonyong-konyong angin berhamburan masuk. Ia meraba dinding dalam kegelapan seraya berusaha mencari pencahayaan. Ah, ini dia, batinnya. Ia merogoh saku jaket, meraih mancis, lalu memantikkan api. Membakar sumbu lilin. Ruang lebih terang setelahnya.

Ia duduk di hadapan lilin tersebut. Memandangi api yang menjilat udara. Merasakan hangat yang tercipta. Pikirannya berkejaran mereka ulang hari. Pagi yang hangat, siang yang terik, dan malam yang serta merta menjelma badai. “Cukup sudah, aku perlu istirahat.” Ia bangkit berdiri dan menghembus lilin, khawatir membiarkannya menyala semalaman. Tak dikena, bisa saja ada barang yang terbakar.

“Mengapa kau mematikan aku?” Hening terpecah. Ia terperanjat. Suara darimana itu? Ia sendirian dan tidak ada aktivitas apapun di luar. “Aku, lilin.” Ia menoleh pandang pada lilin yang padam. Tak ada wujud yang berubah, lelehan namun….bersuara.

“Mengapa?” Tanya lilin. Ia merasa sangat tak lazim. Lilin mana yang bisa bicara! Kejadian luar biasa. “Mengapa?” Lilin mengulang kembali.

“Ha, haruskah aku, aku menjawabnya?” Ia tergugu, tidak percaya ia mesti berkata-kata pada benda mati.

“Tentu saja. Aku sudah bertanya,” lilin menunggu.

“Ah, baiklah. Jadi aku harus tidur,” sulit sekali baginya merangkai kalimat. “Membiarkanmu hidup mungkin akan membawa bahaya.”

“Kau egois. Aku tak lagi utuh. Sumbuku, parafinku. Separuh aku berubah rupa.”

“Aku tidak berniat begitu,” ia memandangi lilin lekat dengan berkas-berkas cahaya jalanan. “Maaf jika kau merasa demikian. Namun aku butuh dirimu untuk menerangi, dan memberikan penghangatan.”

“Cari saja sendiri! Mengapa kau mengorbankan aku demi kepentinganmu?!”

“Tidak, ini bukan untuk diriku saja.” Ia terdiam. Senyap mengisi sejenak, ia kian merasa tak nyaman. “Setidaknya kau pernah menyala.” Ia mengalihkan tatap, beranjak menjauhi lilin.

Sejurus-jurus lilin tak mampu mengeluarkan negasi apapun lagi. Setidaknya aku pernah menyala? Menghangatkan? Detik-detik berlalu. Lilin terpaku. “Terima kasih,” ujarnya sehalus mungkin. Membiarkan lelehannya perlahan padat kembali.

Leave a comment