Aku tak pernah merasa perlu mencari-cari bahan obrolan ketika di sampingmu. Bukan karena tak tertarik untuk berbicara. Aku hanya…membiarkan senyap menggelantung dan merasa nyaman dengannya. Kau juga, tetap diam dan berkutat dengan benda-benda kecil di sekitarmu. Begitu hening, hingga benar aku dapat mendengar denting jarum yang terjatuh.
Tapi kali ini tidak.
Kau mengundangku untuk bertanya-tanya dalam ketiadaan kata yang kau ucapkan. Jemarimu resah memainkan ujung pakaian, kepalamu terus menunduk. Ada apa gerangan, pikirku. Aku terus menatapmu, menunggu-nunggu saat kepalamu terangkat dan mata kita beradu. Namun, tidak. Beratus detik, udara di ruanganku mulai menyesakkan.
“Mengapa?” tanyaku memecah senyap seraya mendekatkan jarak denganmu. Sial, sepertinya belum tepat bertanya. Bagaimanalah, terlontar begitu saja.
Tak berbalas.
“Baik, maaf aku salah bertanya.” Pernyataan tersebut bukan murni permintaan maaf. Melainkan–kuharap–menjadi pemantik agar kau menjelaskan.
Tak juga.
“Terserahmu lah.” Aku kesal, teramat kesal. Mengapa merajuk? Diam sekian bahasa, bertingkah seperti anak-anak saja. Aku menjauh sehasta darimu. Enggan berlama tanya.
“Kau jangan marah padaku,” suaramu bergetar. Kau lalu menatapku dengan linangan air mata. “Kau jangan marah padaku,” ulangmu lagi. Sesunggukan, kau menahan agar tangismu tak menjadi-jadi.
Bingung. “Ti, tidak. Aku tidak marah. Benar aku tidak marah.”
Kau tangkup wajahmu. “Aku rimas.“
Duhai… Sudahlah. Jangan menambah-nambah lagi. Cukup aku menampung gundahku sendiri. Satu katamu itu hampir meruntuhkan kekuatanku.
“Mengapa?” tanyaku lagi, lebih seperti berbisik.
“Karena kau, bodoh!” Wajahmu memerah. “Tidakkah kau pernah berpikir bahwa aku sangat mengkhawatirkanmu?” Napasmu tidak teratur, kau membelalakkan mata padaku. Sesuatu yang sangat jarang terjadi.
“Aku tahu.”
“Lalu mengapa bertanya?” intonasimu merendah.
“Aku tahu. Aku tahu kau khawatir padaku, pertanda kau peduli. Tapi biarlah, biar aku yang menanggung.”
“Bodoh! Bodoh! Bodoh!” Puas sekali rasanya aku dilempar dengan kata itu. “Lukamu bukan hanya lukamu. Itu juga lukaku. Kau pikir hanya kau yang menderita?! Tidak.”
Aku menahan diri agar tidak membantah sedikit pun.
“Aku rimas. Dan itu karenamu.” Kau beranjak keluar meninggalkanku, membanting pintu.
Kau menyisakan hening yang menikam.
Serta beningmu, yang tanpa kusadari, mengalir dari sudut mataku.
—