Ibu senantiasa memperingatkan kami akan keberkahan rezeki–dalam konteks penghasilan. Jumlah memang penting, namun yang utama ialah bagaimana penghasilan diperoleh dan selanjutnya apa-apa yang dikeluarkan dari padanya. Aku selalu salut dengan kemampuan ibu mengatur keuangan keluarga. Memastikan pendidikan abang dan aku selesai hingga strata-1, asuransi kesehatan, keamanan finansial ayah dan ibu pasca ayah pensiun, kewajiban zakat penghasilan, serta sebagainya.
“Ini tanda rezeki yang berkah. Mau berapapun yang dihasilkan, apa-apa yang dibutuhkan tetap terpenuhi. Mama masih bisa nabung juga,” ujar ibu berulang kali.
Maka mengenai keberkahan ini terngiang-ngiang dalam setiap kegiatanku. Selama kuliah dan sepanjang pengerjaan tugas akhir. Apakah yang kulakukan ini, itu, bernilai baik di mata Allah? Bernilai pahala? Ataukah hanya sia-sia? Bagai debu yang berterbangan. Tak bermakna.
Aku menyadari sepenuhnya bahwa ini adalah koridor Allah untuk menentukan. Aku hanya dapat mengusahakan dengan cara yang ahsan. Tapi itu pun bisa jadi ahsan menurut “versi”-ku. Bisa saja tanpa sadar aku menyelipkan pemakluman atau alasan-alasan. “Ya Allah, maaf, kan lagi begini.” Bisa saja. Dan pasti pernah.
Ini yang aku takutkan. Sebesar-besarnya.
Terutama mengenai tugas akhir.
Aku telah mengerahkan daya juang yang (cukup) ekstra untuk menyelesaikannya. Semua mungkin mengalami ini, dengan ketahanan masing-masing. Peluh, air mata, pikiran, waktu. Dan bagiku, aku mengusahakan yang maksimal sejauh kekuatan dan kemampuan. Lalu begitulah.
Satu hari sebelum sidang, ba’da maghrib di masjid kampus. Aku terus bertanya-tanya, apa yang sebenarnya menyebabkan hatiku begitu berat sebelum sidang. Apakah mengenai presentasinya? Mengingat beberapa presentasi yang kulakukan sebelumnya tidak berujung dengan optimal. Tidak, rasaku, bukan tentang itu. Jadi apa?
Apakah aku sedemikian khawatir dengan pertanyaan penguji? Mungkin. Ada berbagai macam probabilitas pertanyaan yang bisa diajukan dan tidak mungkin semua aku tahu jawabannya. Tapi sepertinya lebih dari ini.
Lalu aku terbayang, di suatu malam, sekitar pukul 22 lebih, sekembalinya aku dari gedung laboratorium teknik untuk memeriksa PC “naungan” running yang mati saat di-remote dari kosan. Aku mencapai puncak keadaan, “Apakah harus sebegininya? Atau memang aku yang lemah? Apakah ini nantinya bernilai berkah?”
Keberkahan ini ternyata menjadi ketakutanku yang utama.
Aku menangis sejadi-jadinya. Dua orang teman menangkap ini sebagai sinyal kecemasanku terhadap sidang. Benar, namun tak sepenuhnya tepat.
Aku hanya bisa bermohon kepada Allah, agar ini bernilai berkah. Benar-benar bernilai berkah. Apa selama prosesnya aku meniatkan ini karena Allah? Apakah aku telah menyerahkan segala keputusan kepada Allah, setelah usaha? Atau aku malah sebegitu jumawa, bahwa ini hanyalah mengenai diriku sendiri. Ada langkah-langkah yang akan kulanjutkan. Jika terdapat keburukan saat ini di dalamnya, maka bagaimana kemudian?
Allah… Allahu a’lam.
Hingga saat ini, aku masih menggelisahkan hal yang sama. Meski kadarnya sudah jauh berkurang. Dengan kesadaran–seperti pernyataan di atas, bahwa ini adalah koridor Allah untuk menentukan. Aku pasrahkan. Dan semoga kisah ini senantiasa menjadi pengingatku. Diri ini bukan milik diri ini. Apa yang terjadi ke depannya adalah akumulasi hasil apa-apa yang kulakukan saat ini.
Dan semoga menjejak berkah,
tapak-tapakku,
selanjutnya.
Bandung, 26 Juni 2019. 17.25