Apakah Bernilai Berkah?

Ibu senantiasa memperingatkan kami akan keberkahan rezeki–dalam konteks penghasilan. Jumlah memang penting, namun yang utama ialah bagaimana penghasilan diperoleh dan selanjutnya apa-apa yang dikeluarkan dari padanya. Aku selalu salut dengan kemampuan ibu mengatur keuangan keluarga. Memastikan pendidikan abang dan aku selesai hingga strata-1, asuransi kesehatan, keamanan finansial ayah dan ibu pasca ayah pensiun, kewajiban zakat penghasilan, serta sebagainya.

“Ini tanda rezeki yang berkah. Mau berapapun yang dihasilkan, apa-apa yang dibutuhkan tetap terpenuhi. Mama masih bisa nabung juga,” ujar ibu berulang kali.

Maka mengenai keberkahan ini terngiang-ngiang dalam setiap kegiatanku. Selama kuliah dan sepanjang pengerjaan tugas akhir. Apakah yang kulakukan ini, itu, bernilai baik di mata Allah? Bernilai pahala? Ataukah hanya sia-sia? Bagai debu yang berterbangan. Tak bermakna.

Aku menyadari sepenuhnya bahwa ini adalah koridor Allah untuk menentukan. Aku hanya dapat mengusahakan dengan cara yang ahsan. Tapi itu pun bisa jadi ahsan menurut “versi”-ku. Bisa saja tanpa sadar aku menyelipkan pemakluman atau alasan-alasan. “Ya Allah, maaf, kan lagi begini.” Bisa saja. Dan pasti pernah.

Ini yang aku takutkan. Sebesar-besarnya.
Terutama mengenai tugas akhir.

Aku telah mengerahkan daya juang yang (cukup) ekstra untuk menyelesaikannya. Semua mungkin mengalami ini, dengan ketahanan masing-masing. Peluh, air mata, pikiran, waktu. Dan bagiku, aku mengusahakan yang maksimal sejauh kekuatan dan kemampuan. Lalu begitulah.

Satu hari sebelum sidang, ba’da maghrib di masjid kampus. Aku terus bertanya-tanya, apa yang sebenarnya menyebabkan hatiku begitu berat sebelum sidang. Apakah mengenai presentasinya? Mengingat beberapa presentasi yang kulakukan sebelumnya tidak berujung dengan optimal. Tidak, rasaku, bukan tentang itu. Jadi apa?

Apakah aku sedemikian khawatir dengan pertanyaan penguji? Mungkin. Ada berbagai macam probabilitas pertanyaan yang bisa diajukan dan tidak mungkin semua aku tahu jawabannya. Tapi sepertinya lebih dari ini.

Lalu aku terbayang, di suatu malam, sekitar pukul 22 lebih, sekembalinya aku dari gedung laboratorium teknik untuk memeriksa PC “naungan” running yang mati saat di-remote dari kosan. Aku mencapai puncak keadaan, “Apakah harus sebegininya? Atau memang aku yang lemah? Apakah ini nantinya bernilai berkah?”

Keberkahan ini ternyata menjadi ketakutanku yang utama.
Aku menangis sejadi-jadinya. Dua orang teman menangkap ini sebagai sinyal kecemasanku terhadap sidang. Benar, namun tak sepenuhnya tepat.

Aku hanya bisa bermohon kepada Allah, agar ini bernilai berkah. Benar-benar bernilai berkah. Apa selama prosesnya aku meniatkan ini karena Allah? Apakah aku telah menyerahkan segala keputusan kepada Allah, setelah usaha? Atau aku malah sebegitu jumawa, bahwa ini hanyalah mengenai diriku sendiri. Ada langkah-langkah yang akan kulanjutkan. Jika terdapat keburukan saat ini di dalamnya, maka bagaimana kemudian?

Allah… Allahu a’lam.

Hingga saat ini, aku masih menggelisahkan hal yang sama. Meski kadarnya sudah jauh berkurang. Dengan kesadaran–seperti pernyataan di atas, bahwa ini adalah koridor Allah untuk menentukan. Aku pasrahkan. Dan semoga kisah ini senantiasa menjadi pengingatku. Diri ini bukan milik diri ini. Apa yang terjadi ke depannya adalah akumulasi hasil apa-apa yang kulakukan saat ini.

Dan semoga menjejak berkah,
tapak-tapakku,
selanjutnya.

Bandung, 26 Juni 2019. 17.25

Lilin yang Berubah Rupa

Hembusan angin menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka. Tirai yang menari, malam terlalu beku kala itu. Gulita menguasai sepenjurus ruangan, menyisakan bayang-bayang yang terbentuk dari sorot lampu kendaraan. Pekat, di dalam maupun luar.

Ia perlahan membuka pintu, lalu menguncinya. Sekonyong-konyong angin berhamburan masuk. Ia meraba dinding dalam kegelapan seraya berusaha mencari pencahayaan. Ah, ini dia, batinnya. Ia merogoh saku jaket, meraih mancis, lalu memantikkan api. Membakar sumbu lilin. Ruang lebih terang setelahnya.

Ia duduk di hadapan lilin tersebut. Memandangi api yang menjilat udara. Merasakan hangat yang tercipta. Pikirannya berkejaran mereka ulang hari. Pagi yang hangat, siang yang terik, dan malam yang serta merta menjelma badai. “Cukup sudah, aku perlu istirahat.” Ia bangkit berdiri dan menghembus lilin, khawatir membiarkannya menyala semalaman. Tak dikena, bisa saja ada barang yang terbakar.

“Mengapa kau mematikan aku?” Hening terpecah. Ia terperanjat. Suara darimana itu? Ia sendirian dan tidak ada aktivitas apapun di luar. “Aku, lilin.” Ia menoleh pandang pada lilin yang padam. Tak ada wujud yang berubah, lelehan namun….bersuara.

“Mengapa?” Tanya lilin. Ia merasa sangat tak lazim. Lilin mana yang bisa bicara! Kejadian luar biasa. “Mengapa?” Lilin mengulang kembali.

“Ha, haruskah aku, aku menjawabnya?” Ia tergugu, tidak percaya ia mesti berkata-kata pada benda mati.

“Tentu saja. Aku sudah bertanya,” lilin menunggu.

“Ah, baiklah. Jadi aku harus tidur,” sulit sekali baginya merangkai kalimat. “Membiarkanmu hidup mungkin akan membawa bahaya.”

“Kau egois. Aku tak lagi utuh. Sumbuku, parafinku. Separuh aku berubah rupa.”

“Aku tidak berniat begitu,” ia memandangi lilin lekat dengan berkas-berkas cahaya jalanan. “Maaf jika kau merasa demikian. Namun aku butuh dirimu untuk menerangi, dan memberikan penghangatan.”

“Cari saja sendiri! Mengapa kau mengorbankan aku demi kepentinganmu?!”

“Tidak, ini bukan untuk diriku saja.” Ia terdiam. Senyap mengisi sejenak, ia kian merasa tak nyaman. “Setidaknya kau pernah menyala.” Ia mengalihkan tatap, beranjak menjauhi lilin.

Sejurus-jurus lilin tak mampu mengeluarkan negasi apapun lagi. Setidaknya aku pernah menyala? Menghangatkan? Detik-detik berlalu. Lilin terpaku. “Terima kasih,” ujarnya sehalus mungkin. Membiarkan lelehannya perlahan padat kembali.

Melangkah #SebuahPerjalanan

Pernahkah kamu terkesima dengan bagaimana Allāh mengatur rencana-rencana indah-Nya? Pernahkah hadir di hatimu keyakinan bahwa di balik ujian yang kamu hadapi, terdapat bahagia yang menanti?

Kau tak perlu ragu. Ia bersama-Mu.

2018.

Allāh memberikan aku bermacam kesempatan yang tak kuduga-duga. Kisah-kisah yang, ma shā Allāh, jauh melebihi harapanku sedari dulu.

Allāh berikan aku kesempatan untuk tergabung pada suatu collaborative research antara Universitas Telkom dan Hanbat National University, Korea Selatan. Yang memberiku pengalaman luar biasa berharga. Mengenai kerja sama antar tim dengan kesulitan komunikasi di dalamnya. Pentingnya saling memahami dan merendahkan ego. Tentang para professor dengan keluasan ilmunya beriring kerendahan hati.

Para professor dari Hanbat National University, dosen Universitas Telkom, dan rekan seperjuangan.

Allāh berikan aku kesempatan untuk melangkahkan kaki ke negeri orang. Sebuah cita-cita yang sedari dulu kutuliskan.

Iya, sebelum masuk kuliah, di sela-sela libur SMA, aku menorehkan harapan tentang lembaran cerita di jenjang selanjutnya ini. Salah satunya ialah ke luar negeri–yang kutuliskan adalah Jepang dan Arab Saudi.

Allāh ternyata arahkan perjalananku ke Kuala Lumpur dan Johor Bahru di Malaysia, Alhamdulillāh, melalui sebuah konferensi yang diikuti. Negara yang kemudian menakjubkanku dengan traffic-nya yang rapi, LRT yang membuatku excited berlebihan (belum pernah nyoba di Indonesia, hehe), logat berbahasa yang seperti saudara sendiri, dan…rasa senangku melihat baju kurung dan kerudung rapi yang dikenakan muslimah di sana.

Suasana di LRT saat sedang tak ramai. Atmosfer bawah tanah membuatku merasa seperti di film horror, haha.

Sungguh atas kehendak Allāh.

Allāh kemudian berikan aku (kami) kesempatan untuk menginjakkan kaki di Bangkok, Thailand, melalui student visit dari IEEE SB Tel-U (dan aku pun berterima kasih kepada seorang teman yang mengajakku untuk bergabung). Sebuah organisasi engineer dunia yang juga terdapat di Universitas Telkom.

Di Thailand, aku belajar irisan-irisan menjadi bagian minoritas umat beragama. Populasi muslim di Thailand ialah sebesar 4.6%, meskipun begitu, Alhamdulillāh, tak ada kejadian intorelan yang aku alami selama sepuluh hari di sana.

Merasakan haru menemukan mesjid, rindu mudahnya mendapatkan makanan halal di Indonesia, hingga bahagia berjumpa sesama muslim.

Mesjid Bang Uthit, kerjasama Thailand dan Turki. Terletak di sisi luar Asiatique The Riverfront.

Sungguh atas kehendak Allāh.

Ia hadirkan pelajaran dari serangkai perjalanan dan pengalaman yang aku alami di tahun ini.

2016.

Dua tahun lalu, pernah terlintas di pikiranku, “Mengapa hamba ya, Allāh?” kala aku sedang dalam masa penyembuhan pasca kecelakaan. Dengan gerakku yang aktif, Allāh istirahatkan aku total dari banyak kegiatan. Hingga saat itu, rasa-rasanya sulit mengejar mimpi.

Namun, dalam suatu pertemuan, tetehku mengingatkan, “Apa yang membuat seorang muslim kuat setelah berbagai cobaan?

Ialah iman yang dimilikinya. Dia percaya bahwa Allāh telah mengatur semuanya, termasuk rezeki dan musibah. Tidak akan tertukar. Manisnya iman dirasakan ketika berlapang dada dalam kondisi baik maupun susah.

Segala perkara akan baik baginya, dan itu tidak akan terjadi selain bagi seorang mukmin. Jika dia diberi nikmat, dia akan bersyukur. Jika diuji, dia akan bersabar.”

Rabb. Ingin menangis aku saat mendengarnya. Semoga berkah atasmu dan ilmumu, Teh.

Maka yakinlah, teman. Allāh bersama kita. Segala kisah yang terjadi tidak lain melainkan menjadikan kita pribadi yang tangguh. Dan semoga, bernilai baik di sisi-Nya.

Selanjutnya,
siapkah engkau untuk bermain dalam roller coaster kehidupan? 🙂

BDG, 22-23 September 2018

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.

Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.

Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri,

yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir. Barangsiapa berpaling (dari perintah-perintah Allah), maka sesungguhnya Allah, Dia Mahakaya, Maha Terpuji.

–QS Al-Hadīd, 20-24.

Iman dan Cita-Cita

Imanlah yang menimbulkan semangat baru dalam kemajuan dan langkah manusia. Iman yang menimbulkan keyakinan mencari kehidupan dan rezeki, terutama iman kepada takdir. Orang beriman percaya meskipun rezeki itu berada pada mulut macan, kalau tersedia buat dia, pasti jatuh ke tangannya, itulah dia bekerja dan giat mencari rezeki.

Dan dia percaya bahwa kalau tidak binasa kata Tuhan, walaupun seluruh isi alam berusaha hendak membinasakan, tidaklah akan binasa. Dia percaya bahwa rezekinya tersedia di naungan pedangnya sendiri. Dia diberi dua tangan, dua kaki, sepuluh jari, dua mata, dua telinga dan satu kepala yang dipenuhi otak, ialah buat berpikir dan berikhtiar, berusaha dan usahanya itu tidaklah akan sia-sia. Sebab itu cita-citanya tumbuh dengan subur.

–Prof. Dr. Hamka, Falsafah Hidup

Sekilas #4

“We will continue our activity after adhan,” the conductor commanded.

“A…what?” he asked.
“It’s adhan.”
What is that?”
“The sound that you’re hearing right now. It’s a reminder for Muslim to pray.”
“So are we required to keep in silence?”
“Yes, we are.”
“Ah, I see,” he nodded.

He, then, saw his friend enjoying the angklung and said in Korean, “Hey, silent!”

I smiled.
And I looked to the right, haha.
Perhaps because we are accustomed to hear this reminder, we forget to do what we are asked to do. 

“Bang, tadi mereka kan….”
“Oh ya, oke oke. Sorry, haha.”

An irony?

–Saung Udjo, 5th July 2018

 

 

Sekilas #3

“Dikau udah shalat subuh apa belum?”
“Hmm…” Dia memutar-mutar mata ke atas, “udah kayaknya.”
“Lah, kok kayaknya?”
“Lupa, hahahaha…” Ada tawa yang tak terlihat lepas. Tertahan.
“Waduh, hahaha.”

“Ndah, menurutmu hijrah berat apa tidak?” Aku tidak tahu apa yang menyebabkan ia mendadak membuka topik ini. Aku menjawab sebatas kapabilitasku dan sedikit menceritakan masa lalu.

Dan kemudian ada sesuatu yang menggores hatiku kala ia berujar, “Aku sebenarnya tadi pagi ga shalat subuh.”

Benar dugaanku.

Ia melanjutkan, “aku dulu, semester III sampai IV–bahkan–melaksanakan sesuatu yang sunnah. Aku berusaha tahajjud tiap malam, puasa Senin-Kamis tidak pernah ketinggalan. Namun sekarang, shalat wajib pun tidak pernah.”

Rabb. 

Bagaimana ekspresiku saat mendengarnya? Aku benar-benar berharap air muka-ku saat itu tidak menyakiti hatinya. Aku terkejut. Aku bingung. Aku menjadi saksi, ia memnag sangat teratur menjalani puasa sunnah. 

Waktu sesaat berlalu cepat dan hening. Ia diam, matanya menerawang.

“Marah ya sama Allah?” tanyaku.
“Kecewa,” ucapnya seraya tersenyum miring. Ada apa? “Barangkali aku ga bisa menjelaskan masalahnya apa, saat ini. Tapi ya, begitu…” Ia seakan telah menebak yang tak kulontarkan.

“Ada yang tahu kalau dikau dalam masalah yang berat?”
“Tidak, tidak ada yang tahu. Orang-orang melihatku baik-baik saja. Tapi di dalam, aku sangat hancur. Broken.
“Orangtua-mu tahu?”
“Tidak.”
“Mereka penyebabnya?”
“Mereka salah satu penyebabnya.”

Aku mengalihkan wajah kepada orang yang lalu-lalang di depan kami. Ramai. Ia hanya sedang butuh untuk didengarkan, yakinku. Saat aku kembali menatapnya, Tuhan, ia seperti akan menangis. Kaca-kaca sudah terbit di matanya. Menangislah, menangis kalau kau memang merasa harus menangis. Apa kau malu? 

Detak detik berlari dalam percakapan kami. Ia tetap menyorotkan kesedihan yang mendalam. Aku menunggu saat yang tepat baginya untuk bercerita. Aku mungkin, tak mampu memberi kata-kata jitu untuk menghadirkan senyum di wajahnya. Namun aku berharap untuk menampung kisahnya, agar tidak dipendamnya sendiri.

Agar ia kembali pada Rabb-nya.

 

Sekilas #2

Di meja makan. Malam.

“Ini salaknya. Udah Papa buka’in.”
“Betul lah, Pa? Nanti ga manis makanya Papa kasih Indah?!” Mengunyah. “Eh iya, Pa, manis, hehe.”
“Pernah rupanya Papa bohong sama adek?”
“…Enggak, Pa…”

Surat untuk Pemimpin Indonesia Masa Depan

Handry Satriago
CEO
GE Indonesia
BRI II Tower, 16th Floor
JL. Jend Sudirman No. 44-46.
Jakarta 10210
Indonesia
T +62 21 573 0466
F +62 21 573 0561

Jakarta, 9 July 2012

Kepada para pemimpin Indonesia masa depan
Di manapun Anda berada
Di dunia yang semakin global

Saat saya menulis surat ini kepada Anda, dunia yang saya huni ini mampu membuat 112 buah mobil dalam 1 menit, menerbangkan orang non-stop dari Singapura ke New York dalam 18 jam, dan menghasilkan produk “Made in The World” seperti celana jeans yg saya pakai sekarang. Karena, walaupun saya beli di Bandung dan berlabelkan “Made in Indonesia”, celana ini melibatkan lebih dari 15 negara dalam value chain pembuatannya.

Malam ini, ketika surat ini saya ketik dengan komputer yang mampu mengumpulkan 411 juta informasi dalam 0.23 detik untuk pencarian kata “leadership”, saya membayangkan keterbatasan mencari pengatahuan yg dihadapi ayah saya, saat mimpinya untuk sekolah sirna karena perang yang berkecamuk. Saya memikirkan daya apa yang dimilikinya, sehingga dia berani mendobrak keterbatasannya dengan merantau dan berjibaku untuk survive di berbagai kota di Sumatera hingga akhirnya sampai di Jakarta, Tidakkah dia takut dengan keterbatasannya? Usianya baru 15 tahun saat itu, dan hidup tidak berjalan seperti yang dia inginkan.

Saya juga terkenang dengan peristiwa mengerikan yang saya hadapi sendiri pada tahun 1987, ketika saya tiba-tiba divonis menderita kanker lymphoma non-hodkin- kanker kelenjar getah bening, yang tumbuh di medulla spinalis saya dan merusaknya sedemikian rupa sampai saya kehilangan kemampuan untuk berjalan. Bulan-bulan yang melelahkan karena harus berobat ke sana ke mari, dan akhirnya berujung kepada keharusan menjalankan hidup dengan menggunakan kursi roda. Saya ingat betul betapa takutnya saya untuk menjalani hidup saat itu. Keterbatasan menghadang di banyak hal. Usia saya baru 17 tahun waktu itu, dan hidup berjalan jauh dari yang saya harapkan.

Apa yang bisa dilakukan ketika keterbatasan seakan menjelma menjadi tembok besar dan ketakutan adalah anak panah berapi yang terus dilontarkan kepada kita sehingga kita tidak berani maju dan terus mundur?

Saya, dan mungkin juga ayah saya waktu itu, memulainya dengan menerima kenyataan. Menerima bahwa jalan tidak lagi mulus, bahwa lapangan pertempuran saya jelek, dan amunisi saya tidak lengkap. “Reality bites” kata orang. Betul itu. Tapi menerima “gigitan” itu berguna untuk membuat kita mampu menyusun strategi baru. Menghindarinya atau lari darinya justru membuat kita terlena mengasihani diri kita terusmenerus dan menenggelamkan kemampuan kita untuk dapat melawan balik.

Kemudian saya mengumpulkan kembali puing-puing mimpi saya. Tidak! Mimpi tidak akan pernah mati. Manusia bisa dibungkam, dilumpuhkan, bahkan dibunuh, tapi mimpi tetap akan hidup. Ketika keterbatasan dan ketakutan melanda, mimpi kita mungkin pecah, runtuh, dan berserakan, tapi tidak akan hilang. Dengan usaha keras, kita bisa menyusunnya kembali, dan ketika mimpi telah kembali utuh, ia akan hidup, menyala, dan memberikan cahaya terhadap pilihan jalan yang akan ditempuh untuk mewujudkannya.

Dua puluh enam tahun menjalani kehidupan dengan kursi roda membuat saya semakin yakin bahwa Yang Maha Kuasa memang telah menciptakan kita untuk menjadi makhluk yang paling tinggi kemampuan survival nya di muka bumi ini. Kita diberikan rasa takut, yang merupakan mekanisme primitif yang dimiliki organisme untuk survive, yaitu keinginan untuk lari dari ancaman, atau… melawannya!. Ketika pilihannya adalah melawan, maka perangkat perang telah disiapkanNya untuk kita. Perangkat itu terwujud dalam kemampuan bouncing back—daya pantul, yang jika digunakan mampu membuat kita memantul tinggi ketika kita dihempaskan ke tanah. Kitalah yang bisa membuat daya pantul itu bekerja. Jika kita tak ingin melawan, perangkat perang tersebut bahkan tidak akan hadir.

Berpuluh kali, atau beratus kali atau mungkin beribu kali saya diserang rasa takut ketika menjalani kehidupan dengan kursi roda ini. Ketika membuat pilihan kembali ke sekolah, ketika menyeret kaki untuk menaiki tangga bioskop agar bisa menemani wanita pujaan menonton, ketika memutuskan untuk kuliah, ketika menghadapi 4 lantai untuk bisa praktikum kuliah, ketika harus menjalani kemoterapi, ketika memulai bekerja, ketika naik pesawat, ketika akhirnya bisa ke luar negeri, ketika melamar calon istri, ketika mulai bekerja di GE yang penuh dengan orang General Electric International Operations Company, Inc. asing, ketika menerima tawaran untuk mempimpin GE di Indonesia….Saya takut. Tembok besar berdiri tegak, angkuh, dan ribuan panah berapi menghujami saya.

Namun seiring dengan rasa takut yang timbul tersebut, mimpi saya untuk dapat menjalankan dan menikmati hidup menerangi jalan yang ingin saya tempuh. Dan ketika perangkat perang—semangat untuk memantul, saya gunakan, saya seakan menjelma menjadi jenderal yang siap perang, yang didukung oleh ribuan pasukan—keluarga, teman, bahkan orang yang tak dikenal, yang tiba-tiba hadir karena mereka percaya terhadap keyakinan saya. Saya maju berperang, dengan keyakinan bahwa peperanganlah yang harus saya jalani, saya nikmati. Hasil peperangan sendiri tidaklah terlalu penting, karena kalaupun kalah, toh saya akan berperang lagi. Kalau mati, saya akan mengakhiri perang dengan senyum, karena saya tahu saya telah berjuang dengan sebaik-baiknya. Sang Pencipta lah yang pada akhirnya memilihkan hasil dari perjuangan kita.

Menjadi pemimpin bermula dari memimpin diri sendiri. Mewujudkan mimpi yang ingin dicapai. Tidak perlu membayar orang untuk menjadi pengikut. Jika mereka melihat anda dengan penuh keyakinan berani mempimpin diri anda sendiri, mereka akan mengikuti dan membantu anda dengan tulus, serta percaya pada kepemimpinan anda.

Saat saya menulis surat ini kepada Anda, dunia tempat saya hidup sekarang ini menghasilkan pendapatan kotor setahun $70 triliun. Sekitar 40% dari pendapatan dunia tersebut dihasilkan oleh 500 korporasi terbesar dunia, dan tidak ada satu pun yang berasal dari negara kita (133 dari Amerika Serikat, 79 dari China, 8 dari India). Terdapat sekurangnya 136 negara yang berkompetisi di dunia ini untuk mendapatkan keuntungan terbanyak dari proses ekonomi global, dan daya saing Indonesia terukur pada ranking 46. Singkat kata, kita masih belum menjadi pemeran utama di panggung dunia yang tak berhenti mengglobal.

Pekerjaan rumah anda sebagai pemimpin Indonesia tidaklah mudah. Tidak berarti, tembok besar dan ribuan panah api bisa menghentikan langkah anda untuk berperang.